Terus Ngotot, Prabowo-Hatta Dinilai Tidak Mendidik
Jakarta -
Sikap pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa yang terus ngotot
memperkarakan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2014
dianggap tidak mendidik.
Pasangan tersebut diharapkan mau menerima apapun putusan Mahkamah
Konsitusi (MK) yang bersifat final dan mengikat serta mau bersama-sama
pemerintah yang baru membangun bangsa. Tidak memperkeruh suasana dengan
memprovokasi masyarakat.
"Ini diperlukan agar konsolidasi demokrasi berlangsung efektif, yang
diharapkan bisa menciptakan iklim politik yang jernih, tidak keruh,"
kata pengamat politik Siti Zuhro, kepada SP, di Jakarta, Rabu (20/8).
Siti menilai, sikap dan pernyataan Prabowo yang disampaikan dalam
acara silaturahmi dan halal bilhalal dengan relawan Koalisi Merah Putih,
di Bandung, Selasa (19/8), yang menyebut bakal memperkarakan ketetapan
KPU ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan ke Mahkamah Agung (MA)
jika gugatannya ditolak MK, tidak tepat.
"Amar keputusan MK bersifat final dan mengikat. Karena itu harus diterima semua pihak dan juga masyarakat," ujarnya.
Menurutnya, meskipun suksesi kepemimpinan nasional di Indonesia dalam
sejarahnya sering mengalami dinamika bukan berarti hal tersebut harus
dilestarikan. Justru sikap saling menghormati antar elite dan menghargai
pilihan publik yang harus dibudayakan.
"Meskipun sejarah suksesi di Indonesia menunjukkan jalan yang tak
mulus, bukan berarti pengalaman itu perlu diteruskan. Artinya,
kontestasi tak semata-mata hanya untuk mendapatkan kekuasaan saja tapi
lebih penting dari itu adalah menjamin kompetisi dalam pilpres berjalan
jujur, bersih, transparan, adil dan dapat dipertanggungjawabkan,"
ujarnya.
Dirinya berpandangan, sejak model pemilihan langsung diterapkan di
Indonesia pada 2004 dengan menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi maka keputusan dan sikap politik masyarakat dalam menentukan
pemimpinnya harus dijunjung tinggi.
"Setelah model pilpres langsung dilaksanakan sejak 2004, rakyat mempunyai hak politik yang sama dalam menentukan pemimpinnya.
Partisipasi politik masyarakat dalam menentukan pemimpinnya tersebut
merupakan prasyarat penting dalam demokrasi. Dan hak politik inilah yang
perlu dihormati. Karena itu, kompetisi antar kandidat pasangan calon di
pilpres harus dilihat dalam koridor demokrasi," jelasnya.
Menurutnya, demokrasi yang berdiri sejak 1998 harus diimbangi dengan
kedewasaan elite dalam berpolitik dengan terus melakukan koreksi dan
perbaikan untuk memenangi kontestasi di masa mendatang. Bukan mencederai
arti dari demokrasi itu sendiri dengan memprovokasi rakyat.
"Proses demokratisasi yang berlangsung sejak 1998/1999 semestinya
menghasilkan peningkatan kematangan atau kedewasaan berpolitik. Baik
para elite maupun masyarakat mendapatkan kemanfaatan dari proses empat
kali pemilu nasional dan seribu lebih pilkada di provinsi,
kabupaten/kota," kata Siti.
Penulis: E-11/FEB
Sumber:Suara Pembaruan
Maunya semua pada tunduk sama dia, emangnya dia itu siapa?????
ReplyDelete