Written By khairul anwar on Selasa, 19
Agustus 2014 | Selasa, Agustus 19, 2014
Dibenaknya tidak pernah terpikir sedikitpun untuk pindah agama. Tapi
rencana Tuhan lain. Di usianya yang tiga tahun, pria kelahiran Sigli, Aceh
Pidie, 14 Agustus 1951 ini ikut ayahnya yang militer pindah tugas ke Medan.
Ayahnya mempunyai 4 istri. "ibu kandung saya meninggal waktu saya masih
kecil.
"Saya menyelesaikan studi saya
sampai menjadi calon uztad," tutur Pdt. Muhamad Husein Hosea. Di Medan ia
ikut organisasi yang kala itu ingin membentuk Aceh Merdeka. "Kami
memerangi orang Kristen dan Batak. Saat itu saya menjabat sebagai Sekjen.
Tujuan kami membentuk RI jadi negara Islam. Dimasa itu saya juga masuk anggota
Komando Jihad," tuturnya.
Tahun 1967, katanya, mereka merusak
sejumlah gereja di Aceh sehingga tinggal dua gereja. Itupun karena kedua gereja
tersebut berada di lingkungan Angkatan Laut. Aksi itu berlanjut ke Sumatera
Utara. "salah satu aksi kami adalah membom Gereja Methodist Indonesia di
Medan tahun 1971" jelasnya.
::Membunuh Pendeta
Pada akhir 1972, ia diperintahkan
membunuh pendeta HKBP Teladan, Medan. "Selama empat minggu berturut turut,
saya bersama teman teman saya mempelajari tentang pendeta itu. Sehari sebelum
hari H, gereja itu kami tebari kotoran manusia" ucapnya. Pada hari H
dengan bersenjatakan Golok dan rencong, mereka sudah berada di Gereja itu sejak
pagi hari.
"Sampai jam 11.00 siang, pendeta
yang kami incar tak kunjung datang". Paparnya. Tapi hal itu tidak
menyurutkan keinginan mereka. "Setelah letih menunggu diluar, saya bersama
teman menunggu di dalam gereja. Yang sebagian lagi diluar mengawasi situasi.
Kami duduk dikursi paling belakang. Kami mengikuti ibadah tersebut dengan hati
yang panas" lanjutnya.
Saat sang pendeta tengah berkhotbah
tentang Adam dan Hawa, ia lalu mencoba membandingkan isi khotbah itu dengan
agamanya. "Tiada bedanya," kilahnya. Entah mengapa saat itu ia tampak
begitu menyimak khotbah tersebut. Ternyata dalam acara itu juga dilaksanakan
ibadah pemberkatan nikah
"Ketika itu pendeta berkata bahwa
barangsiapa yang telah disatukan Allah, tidak bisa dipisahkan oleh manusia.
Lantas saya berpikir kalau di agama saya bisa seorang suami beristri lebih dari
satu asalkan berlaku adil. Dan seorang suami juga bisa menceraikan istri mulai
dari talak satu sampai pasak (membatalkan)" kisahnya.
Seketika itu juga teringatlah ia pada
orang tuanya. Saya begitu sedih tentang hal ini. "Ayah saya beristri
empat"cetusnya. Terjadilah perbandingan dalam pikirannya. Pergumulan kian
hebat. Ribuan pertanyaan terlontar. Mungkinkah seorang suami berlaku adil
dengan dua atau tiga istri? Dimana letak keadilannya? Pertanyaan itu terlintas
di benaknya.
Akhirnya sampailah ia pada suatu
kesimpulan bahwa agamanya telah tidak berlaku adil. "Bagaimana mungkin
seorang suami berlaku adil dengan istri yang lebih dari satu?" batinnya.
Khotkah pendeta itu ternyata berdampak besar terhadap dirinya. "Akhirnya
saya mengurungkan niat membunuh. Teman-teman saya keheranan saat saya ajak
pulang. Mereka bertanya tanya, ada setan apa yang membuat saya berubah drastis.
Tidak lagi bernafsu membunuh, malah membatalkan rencana yang sudah rapi
tandasnya.
Pada tahun 1973, ia mengikuti MTQ
tingkat peropinsi di Medan. Hari-hari yang dilaluinya tidak lepas dari khotbah
yang diucapkan pendeta tadi. "Saya bertanya dalam hati apakah maksud
semuanya ini" ungkapnya. Seusai MTQ ia baru sadar bahwa apa yang selama
ini dialami merupakan panggilan Tuhan. Ia memutuskan untuk mencari kantor
penginjilan dan menyerahkan diri bagi Kristus. Awalnya ia tidak tahu kemana.
Tapi seingatnya ada kantor orang Kristen di Pematang Siantar, Sumatra Utara.
Dengan uang secukupnya dan bermodal tekad bulat berangkatlahia ke kota itu. Di
Siantar ia bertemu dengan Pdt. Panjaitan yang saat itu menjabat direktur
Zending HKBP.
Setelah menceritakan kisah hidupnya
ternyata ia tidak langsung diterima. Pasalnya ia adalah seorang yang tengah
dipersiapkan menjadi seorang ustad. Latar belakang keluarganya yang fanatik
dijadikan alasan untuk menolaknya. "Tidak baik seorang calon ustad pindah
agama, demikian kira kira ucapan Panjaitan. "Tapi saya sudah bertekad menjadi
Kristen. Bukan karena paksaan, semuanya murni keinginan saya" tuturnya.
Akhirnya oleh seorang pengurus sebuah
Panti Asuhan ia dikirim ke Dinas Sosial. "Disana saya dibina selama enam
bulan. Dari situ saya dibawa ke Tarutung. Saya belajar selama satu tahun setelah
itu saya baru masuk STT. Saya dikirim ke STT Duta Wacana Yogjakarta. Saya
dibaptis tahun 1975 di Sipoholon, Tapanuli Utara" ujar suami tercinta Enny
Simamora ini.
::Disiksa di Penjara::
Setelah meyelesaikan studi dan
menyandang predikat hamba Tuhan, ia menginjil dikota kelahirannya. Mengetahui
hal itu, orang tuanya yang dari awal sudah menentang kepindahannya langsung
menyebarkan isu isu menyesatkan pada masyarakat setempat.
Ia dituduh mengkristenkan orang Aceh
secara paksa. Orang tuanya juga melaporkannya kepada Polisi Pangkalan Susu
dengan tuduhan melakukan Kristenisasi. Ia langsung dijebloskan ke penjara dan
mendekam selama enam bulan.
Di penjara, ia dihajar, dipukul bahkan
diperlakukan tidak seperti manusia. "Di penjara yang berukuran sempit,
saya hanya mengenakan pakaian dalam. Saya tidur berdiri" ujarnya.
Keluarganya secara terang-terangan menyuap polisi agar memperlakukannya
secara sadis. Sementara ia menjalani masa hukuman, keluarganya sudah menyusun
rencana menghabisinya. "Saya pasrah. Yang bisa saya lakukan hanya berdoa
dan berdoa. Saya percaya bahwa Allah yang saya sembah adalah Allah yang sanggup
menolong saya. Saya berdoa sampai menangis. Ternyata doa saya dijawab Tuhan,"
kenangnya. Melalui memo dari Kapolda Sumut saat itu akhirnya ia dibebaskan.
"Bagi saya itu suatu mujizat," tutur ayah Ranto Rosnawati, Sondang
Nur Cahaya, Daniel Kariadi dan Cut Rachel ini.
Jeruji besi ternyata tidak mampu
memadamkan semangatnya untuk melayani. Ini terbukti sekeluarnya dari penjara,
ia bersama keluarganya memutuskan pergi ke Lhokseumawe. Selain menginjil, ia
juga ingin bertemu dengan keluarganya, walaupun keluarganya masih antipati,
tapi ia tidak menyimpan dendam.
Justru ia ingin membuktikan bahwa agana
yang dianutnya mengajarnya untuk mengasihi sesama bagaimanapun pahitnya
kehidupan. Ketika ayahnya meninggal tahun 1982, ia tidak diizinkan untuk
melihat jasadnya. "Haram hukumnya," ujar mereka menghalang
halanginya. Ia hanya diizinkan melihat dari balik jeruji besi mobil tahanan.
Ironis sekali.
"Saat saya menetap di Lhokseumawe,
banyak orang Aceh mengenal Tuhan. Setelah sekian lama belajar firman Tuhan pada
tanggal 12 Desember 1991 saya membaptiskan enam orang Aceh," kisah anak ke
dua dari sembilan bersaudara pasangan Alm, H. Muhammad Yusuf dan Cut Manyen
ini.
Malamnya , rumahnya didatangi massa yang
jumlahnya ratusan. "Dalam waktu sekejap rumah saya habis dilalap api.
Harta benda kami habis dijarah," ungkapnya. Tapi, lanjutnya lagi lagi
mujizat Tuhan terjadi. Meski rumah kami habis, tapi tidak ada satupun dari kami
yang lecet sedikitpun.
"Saya masuk penjara lagi selama
empat bulan" kisahnya. Ia dituduh telah menghianati agama terdahulunya.
Hukuman yang diterimanya adalah rajam (dipukul dengan rotan) sebanyak 1000
kali. Ada dua pilihan yang diberikan padanya. Dirajam atau pindah kembali ke
agama asalnya. "Ketika itu saya diiming imingi berbagai fasilitas mewah
jika pindah agama. Di pengadilan yang dihadiri oleh Pemda, Muspida dan keluarga
saya, ditanya apa keputusan saya. Tapi saya tetap memutuskan untuk menjadi
pengikut Kristus. Segala harta benda itu fana, tapi Kristus abadi,"
jelasnya.
Soal teror, sampai saat inipun masih membayanginya. "kepala saya
dihargai mereka lima juta" ujarnya. Kini Husein Hosea melayani di
Tangerang. Ia juga kerap diminta bersaksi di berbagai tempat.
No comments:
Post a Comment