Written By khairul anwar on Jumat, 20
Desember 2013 | Jumat, Desember 20, 2013
AIR mengalir tenang dalam kanal tua itu.
Pohon bakau tumbuh subur di kanan kiri. Letak saluran air ini tak jauh dari
Jalan Merdeka Barat, jalur masuk ke pusat Kota Lhokseumawe. Terusan yang
menyambung dengan Krueng Cunda dan bermuara ke laut itu juga bisa dilihat dari
lokasi makam Teungku Lhokseumawe di Gampông Banda Masen, Kecamatan Banda Sakti.
“Kanal Cunda dari Banda Masen, Uteun
Bayi sampai Kutablang (Kecamatan Banda Sakti), sebelah utara ataupun timur
laut, itu aktif di zaman (Kerajaan) Samudra Pasai. Pada masa itu mungkin kanal
ini menjadi jalur yang sering dilewati (kapal) tongkang-tongkang,” ujar
peneliti sejarah dan kebudayaan Samudra Pasai, Taqiyuddin Muhammad.
Di atas balai markas Central Information
for Samudra Pasai Heritage atau CISAH di Gampông Uteun Bayi, Jumat malam pekan
lalu, Taqiyuddin mempresentasikan hasil penelitiannya. Presentasi diprakarsai
salah seorang tokoh masyarakat, T. Anwar Haiva, dihadiri Kepala Dinas
Perhubungan, Pariwisata, dan Kebudayaan Lhokseumawe Ishaq Rizal, Kepala Bidang
Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Lhokseumawe Ibrahim, dan warga pencinta
sejarah.
Hasil penelitian Taqiyuddin, ditemukan
bukti konkret ada kehidupan maritim yang kuat pada era Samudra Pasai. Ya,
Samudra Pasai adalah pangkalan di jalur sutra bahari. Para sejarawan sering
menyebutkan letak geografis Samudra Pasai sangat strategis.
Taqiyuddin meyakini, Samudra Pasai sebagai kerajaan maritim pada masa silam
tentu mempunyai armada dagang, armada militer, atau angkatan laut yang
menunjukkan kekuatan maritimnya sangat kuat. “Jadi, ini sebenarnya kemaritiman
atau kelautan Lhokseumawe yang sangat berpotensi. Saya kira, Kanal Cunda itu
bisa diaktifkan kembali, dan jika dipadu dengan hutan mangrove (bakau), tentu
akan menjadi daya tarik wisata yang cukup potensial,” ujar Taqiyuddin.
Namun, kata Taqiyuddin, pemerintah harus
membatasi bangunan permanen di lintasan kanal. Kalau tidak ada bangunan rangka
baja, setiap orang yang melewati jalur masuk ke kawasan pusat Kota Lhokseumawe
bisa melihat kanal.
Di sekitar lintasan kanal, Taqiyuddin
melanjutkan, ditemukan banyak batu nisan kuno yang menunjukkan kawasan ini
dulunya pemukiman Samudra Pasai. Di lokasi ini juga sering ditemukan dirham
atau koin emas sebagai alat tukar masa Kerajaan Samudra Pasai.
Hasil identifikasi Taqiyuddin, kawasan
inti pemukiman para pelaut era Samudra Pasai berada di Jeulikat dan Blang Weu
Baroh, Kecamatan Blang Mangat, Lhokseumawe, saat ini. Di kawasan itu ada
kompleks pemakaman amat luas, makam-makam yang batu nisannya bersurat. Lokasi
ini belum dilestarikan, bahkan menjadi tempat peliharaan ternak warga.
“Di kompleks pemakaman juga ada lambang-lambang yang berkaitan erat dengan
kelautan atau ilmu bahari. Ada beberapa kompleks yang dihuni mu’allim-mu’alim
atau para pelayar atau navigator. Salah satunya kompleks, makam Mu’allim Ahmad.
Di sana ada sekitar 50 batu nisan kuno,” ujar Taqiyuddin.
Di Jeulikat, hasil identifikasi
Taqiyuddin ada pula nisan dari makam anak Mu’allim (navigator) Damah. Karena
itu, kata dia, ketika muncul pertanyaan di mana letak pemukiman para pelaut
kalau benar Samudra Pasai dikenal dengan kemaritiman, Jeulikat-lah jawabannya.
“Kalau sebelumnya kita bertanya, di mana pangkalan laut Samudra Pasai,
pangkalan lautnya di Lhokseumawe. Jadi, kalau kita ingin merancang Lhokseumawe
sebagai ikon Bandar Samudra Pasai, sah-sah saja karena kita memiliki bukti
konkret, termasuk pemakaman abad ke-15 dan abad 16,” ujar Taqiyuddin.
Namun, kata Taqiyuddin, perlu penelitian
lebih lanjut dengan melibatkan tim lebih lengkap, termasuk para arkeolog guna
memetakan bagaimana sebenarnya Lhokseumawe abad ke-16. Kemudian potensi ini
diberdayakan menjadi aset pariwisata yang sangat baik sebagai lokasi wisata
sejarah dan religi.
“Karena untuk mengundang investasi luar,
kita harus punya sesuatu yang bisa kita tawarkan, yang memiliki nilai jual.
Saya kira, ini bisa kita tawarkan karena punya nilai besar; Lhokseumawe sebagai
Bandar Samudra Pasai, dengan keberadaan kanal dan pemukiman pelaut,” ujarnya.
Melalui penelitian lanjutan, Taqiyuddin
meyakini akan ditemukan lebih banyak informasi dan aset sejarah berupa artefak.
Temuan artefak-artefak, kata dia, membuat Lhokseumawe berpotensi membangun
museum sejarah dengan spesialisasi museum maritim.
“Kita orang laut, maka kehidupan bahari diangkat kembali. Apalagi ternyata
Lhokseumawe pernah dihuni oleh mu’allim-mu’allim (navigator) besar. Selat
Malaka tidak mungkin dilalui tanpa navigator karena lantai laut ada yang
dangkal, berbukit, dan sebagainya. Para mu’allim itu bermukim di sini,”
ujarnya. Taqiyuddin optimis Lhokseumawe akan menjadi pusat perhatian dunia
kalau potensi ini diangkat.
Paparan Taqiyuddin membuat Kepala Dinas
Perhubungan Lhokseumawe Ishaq Rizal, terharu. “Ternyata kita punya banyak
potensi purbakala yang luar biasa, bagi saya pribadi ini sesuatu yang baru.
Informasi seperti inilah yang selama ini saya cari-cari,” ujar Ishaq Rizal.
Temuan Taqiyuddin, kata Ishaq
Rizal, ibarat “gayung bersambut” dengan program Dinas Perhubungan yang tengah
memprioritaskan pengembangan sektor pariwisata, termasuk rencana membangun
museum sejarah. Karena itu, Ishaq ingin menjalin “ijab kabul” dengan CISAH guna
melanjutkan penelitian. Sumber : http://atjehpost.com
No comments:
Post a Comment