Thursday, July 31, 2014

Dunia Siaga Ebola

FOKUS

Dunia Siaga Ebola

Indonesia belum akan keluarkan travel warning. 

Petugas medis untuk menangani kasus ebola di Sierra Leone, Afrika Barat.

VIVAlife - Saat sebuah wabah demam merebak di dekat Sungai Ebola, Republik Kongo dan Sudan, tahun 1976, dunia medis belum dilanda panik. Saat itu, 280 dari 318 penderita demam di Republik Kongo meninggal.

Dari 284 kasus di Sudan, yang meninggal sebanyak 151 orang. Tahun demi tahun, kasus yang sama merajalela. Barulah dunia menyadari, itu bukan demam biasa. Penderitanya sampai berdarah-darah.

Lingkungan sekitarnya pun mudah tertular. Jika ada satu keluarga yang demam, anggota lain akan mengalami hal serupa. Belakangan, penyakit misterius itu dinamakan Ebola Virus Disease (EVD).

Ebola mulai menguasai Afrika. Tahun 1995, jumlah yang meninggal di Sudan mencapai 254 dari 315 kasus. Ledakan penyebaran kembali terjadi pada 2000, 2003, dan 2007. Korbannya berjumlah ratusan.

Menginjak 2014, ebola kian mengkhawatirkan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, sejak Februari hingga Juli tahun ini ebola mencapai lebih dari seribu kasus. Terhitung, 672 orang meninggal dunia.

Tingkat kematian pada penderita ebola memang bisa mencapai 90 persen dari kasus. Dengan penanganan baik, bisa turun ke 60 persen.

Seorang pejuang ebola, Sheik Umar Khan juga menjadi korban. Selasa, 29 Juli lalu ia wafat di Sierra Leone, tak sampai seminggu setelah didiagnosis ebola. Khan telah merawat sekitar seratus pasien ebola.

Dua relawan medis dari Amerika pun ada yang telah terinfeksi. US Peace Corps menarik relawannya.

Wabah panik
Dokter Lintas Batas (MSF) menyebut tiga negara di Afrika Barat--Guinea, Sierra Leone, dan Liberia--dalam keadaan darurat. Liberia bahkan menutup sekolah-sekolah dan berencana mengarantina beberapa komunitas.

Tak hanya itu, kantor-kantor pemerintahan tak beroperasi. Liberia pun ditinggalkan para relawan asing. Militer diturunkan untuk “mengisolasi” negara itu. Perbatasan ditutup, pasar-pasar dilarang buka.

Rumah sakit sudah kewalahan menampung pasien. Beberapa disarankan dirawat di rumah. Menurut Presiden Liberia, Ellen Johnson Sirleaf, itu dilakukan demi mencegah wabah ebola menyebar.

Virus mematikan itu akhirnya mendapat perhatian dunia. Amerika, Asia, dan Eropa mulai khawatir ebola akan menyebar ke negara-negara mereka. Inggris sampai menggelar rapat khusus membahas itu.

Hong Kong menyiapkan karantina khusus jika ada yang terdeteksi. Virus itu juga tengah jadi perbincangan hangat di Amerika Serikat.  Apalagi, sudah ada warga AS yang meninggal karena ebola.

Patrick Sawyer mendadak pingsan setelah turun pesawat di Nigeria. Ia berencana pulang ke Minnesota dari Liberia, untuk merayakan ulang tahun putrinya. Pria 40 tahun itu ternyata positif terinfeksi ebola.

Virus mematikan itu bukan hanya menularkan penyakit, tapi juga menyebar kepanikan.

Indonesia waspada
Beruntung, kasus ebola belum sampai ke Indonesia. Dalam wawancara dengan VIVAlife, Kamis, 31 Juli 2014, Wakil Menteri Kesehatan RI, Ali Gufron mengaku optimistis Indonesia belum punya riwayat ebola.

Meski begitu, ia tetap waspada. Sebab, akses antarnegara di dunia kini makin mudah. Kemungkinan Indonesia tertular, pasti ada. “Banyak yang ke Afrika, atau mereka yang datang ke Indonesia,” katanya.

Untuk itu, Kementerian Kesehatan menekankan pentingnya mengetahui cara penularan virus sebagai tindak pencegahan pertama. Ia menyarankan, masyarakat menerapkan pola hidup bersih dan sehat.

Seperti diulas sebelumnya, penularan ebola terjadi melalui kontak langsung dengan darah, cairan, sekresi, atau jaringan pasien yang terinfeksi. Dokter yang pernah menangani, juga mungkin tertular.

“Yang mau ke Afrika kami ingatkan, jangan sampai kontak langsung dengan pasien yang terinfeksi, apalagi berhubungan seksual,” ia menjelaskan. Begitu pula kontak dengan hewan pembawa virus.

Sedang untuk orang yang baru pulang dari Afrika, Ali mengaku sudah menyiapkan prosedur khusus di pelabuhan maupun bandara. Melalui kantor-kantor pusat kesehatan di sana, ada pemeriksaan khusus.

“Ini kan termasuk corona virus, seperti MERS, jadi standar pemeriksaannya sama,” ia menyebutkan.

Namun, Ali mengaku belum memikirkan travel warning atau travel instruction. Sebab, katanya, belum ada rekomendasi dari WHO untuk itu. “Di Afrika saja belum ada, apalagi di Indonesia,” ia berucap.

Menurut Ali, yang terpenting saat ini adalah meningkatkan kewaspadaan. “Ebola termasuk salah satu international health regulation. Setiap ada kasus di manapun, harus dilaporkan,” ungkap Ali.

Ia berharap, Indonesia tidak sampai melaporkan adanya kasus ebola, apalagi sampai jatuh korban.

Dari kelelawar
Apa sebenarnya ebola? Awalnya, ia dikenal sebagai demam berdarah. Gejalanya memang mirip. Menurut situs resmi WHO, pasien yang terinfeksi akan demam mendadak, nyeri otot, sakit kepala, dan tenggorokan. Kemudian diikuti muntah, diare, ruam, gangguan fungsi ginjal dan hati.

Pada beberapa kasus yang ekstrem, ebola juga ditandai dengan pendarah internal maupun eksternal. Jika diuji laboratorium, diketahui sel darah dan trombosit pasien rendah. Sebaliknya, enzim hati tinggi.

Untuk mendiagnosis ebola, asumsi malaria, demam berdarah, kolera, pes, meningitis, dan hepatitis harus disingkirkan dahulu. Ebola akan muncul saat pengujian antibodi dan enzim yang berhubungan dengan imunitas, deteksi antigen, uji netralisasi serum, mikroskopi elektron, dan isolasi virus.

Biasanya, butuh waktu sekitar dua hingga 21 hari dari saat seseorang terinfeksi, sampai didiagnosis positif menderita ebola. Beberapa hari setelah positif, maut bisa datang jika tak segera ditangani.

Sejatinya, ebola merupakan virus yang ditularkan ke manusia melalui hewan liar. WHO menyebut, kelelawar pemakan buah yang termasuk klan Pteropodidae merupakan pembawa alami virus itu.

Kelamaan, virus itu berkembang di populasi manusia, dan dapat ditularkan dari manusia ke manusia. Hingga kini, belum ada pengobatan maupun vaksinasi berlisensi untuk mengatasinya.

Situs resmi WHO menerangkan, ebola menular ke manusia melalui kontak darah, sekresi, atau organ dan cairan lain dari hewan yang terinfeksi. Selain kelelawar, virus juga ditemukan pada hewan primata.

Dari manusia ke manusia, penularan terjadi lewat kontak langsung dengan mereka yang terinfeksi. Kulit yang terbuka atau selaput lendir yang terkena darah, sekresi, maupun cairan lain, bisa menularkannya.

Kontak tidak langsung dengan lingkungan yang terkontaminasi cairan itu juga bisa fatal. Misalnya: ruang karantina pasien maupun upacara pemakaman korban meninggal di mana pelayat bisa kontak langsung.

Pasien yang telah dinyatakan sembuh, juga masih bisa menularkan virus, kemungkinan besar melalui air mani. Biasanya, jangka waktu yang diperlukan untuk virus benar-benar mati lebih dari tujuh minggu.

Tak ada obat
Yang menjadi kabar buruk, hingga kini ebola belum ada obatnya. Saat virus sudah bercokol dalam tubuh, itu akan mengakibatkan inflamasi serius. Jika imunitas dan peredaran darah tak terkontrol, organ fatal.

Ebola menyerang sel-T limfosit dalam kekebalan tubuh, sel yang sama seperti yang diserang HIV. Namun menurut laman The Conversation, ebola bisa merusak dengan jauh lebih agresif. Ia bisa memecah pembuluh darah di mana-mana, sehingga mengakibat pendarahan internal dan eksternal.

Saat itu, serangan virus mencapai puncak. Pasien akan terus dehidrasi. Memenuhi tubuh dengan minuman yang mengandung elektrolit sangat penting. Itu akan membantu melewati masa terminal.

Perawatan intensif di awal masa infeksi juga bisa membantu penyembuhan pasien.

Dunia kesehatan sedang mengembangkan vaksinasi untuk menyembuhkan ebola. Namun, itu belum bisa benar-benar digunakan. Ilmuwan menemukan molekul BCX4430 yang bisa mencegah perkembangan virus dan menghentikannya di tubuh primata. Namun, belum diuji coba pada manusia.

Saat ini, yang bisa dilakukan hanya mengisolasi penderitanya. Sebab, menurut seorang internis, Dr. Marc Siegel, yang membuat ebola “populer” di Afrika adalah kebiasaan masyarakatnya tinggal berdekatan.

Itu membuat mereka kurang waspada terhadap penularan virus. Mengutip Fox News, ritual pemakaman yang memungkinkan kontak dengan jasad yang telah terinfeksi, juga bisa jadi penyebab penyebaran.

Menaklukkan penyebaran virus
Meski ebola amat berbahaya, Dr. Marc Siegel menyarankan dunia untuk tetap tenang. Kepanikan berlebihan justru memperburuk situasi. Cara terbaik menaklukkan penyebaran virus adalah isolasi.

Menurut Siegel, ebola tidak semenakutkan kedengarannya. Itu masih bisa dicegah dengan isolasi pasien, pola hidup higienis, dan peningkatan daya tahan tubuh. Bahkan, penderitanya masih bisa sembuh total.

Dr. Jay Keystone dari unit penyakit tropis Rumah Sakit Umum Toronto sepakat soal itu. Ia menambahkan, yang pertama harus dituntaskan adalah kecepatan penemuan kasus.

“Masalahnya, orang yang terinfeksi, bisa begitu saja kembali ke desa tanpa ada yang tahu soal itu,” kata Keystone saat diwawancarai CBC Canada. Karena itu, penting untuk mengetahui kasus secara dini.

“Jika kasus sudah diketahui, segera diawasi, didiagnosis, dan penderitanya diisolasi,” imbuh Keystone.

Sedang mereka yang kontak langsung dengan pasien, seperti petugas medis, harus menggunakan busana khusus. Itu sebabnya para relawan di Afrika bekerja dengan busana serba tertutup dan disemprot desinfektan, agar tidak terinfeksi virus.

“Mencuci tangan secara teratur juga mencegahnya,” lanjut Keystone. Katanya, ebola hanya menular lewat kontak langsung. Ia tidak aerosol, sehingga tidak menular melalui udara seperti batuk dan bersin.


©
VIVA.co.id

No comments:

Post a Comment

Translate