Dari 284
kasus di Sudan, yang meninggal sebanyak 151 orang. Tahun demi tahun,
kasus yang sama merajalela. Barulah dunia menyadari, itu bukan demam
biasa. Penderitanya sampai berdarah-darah.
Lingkungan sekitarnya
pun mudah tertular. Jika ada satu keluarga yang demam, anggota lain akan
mengalami hal serupa. Belakangan, penyakit misterius itu dinamakan
Ebola Virus Disease (EVD).
Ebola mulai menguasai Afrika. Tahun
1995, jumlah yang meninggal di Sudan mencapai 254 dari 315 kasus.
Ledakan penyebaran kembali terjadi pada 2000, 2003, dan 2007. Korbannya
berjumlah ratusan.
Menginjak 2014, ebola kian mengkhawatirkan.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, sejak Februari hingga Juli tahun
ini ebola mencapai lebih dari seribu kasus. Terhitung, 672 orang
meninggal dunia.
Tingkat kematian pada penderita ebola memang
bisa mencapai 90 persen dari kasus. Dengan penanganan baik, bisa turun
ke 60 persen.
Seorang pejuang ebola, Sheik Umar Khan juga menjadi
korban. Selasa, 29 Juli lalu ia wafat di Sierra Leone, tak sampai
seminggu setelah didiagnosis ebola. Khan telah merawat sekitar seratus
pasien ebola.
Dua relawan medis dari Amerika pun ada yang telah terinfeksi. US Peace Corps menarik relawannya.
Wabah panik
Dokter Lintas Batas (MSF)
menyebut tiga negara di Afrika Barat--Guinea, Sierra Leone, dan
Liberia--dalam keadaan darurat. Liberia bahkan menutup sekolah-sekolah
dan berencana mengarantina beberapa komunitas.
Tak hanya itu,
kantor-kantor pemerintahan tak beroperasi. Liberia pun ditinggalkan para
relawan asing. Militer diturunkan untuk “mengisolasi” negara itu.
Perbatasan ditutup, pasar-pasar dilarang buka.
Rumah sakit sudah
kewalahan menampung pasien. Beberapa disarankan dirawat di rumah.
Menurut Presiden Liberia, Ellen Johnson Sirleaf, itu dilakukan demi
mencegah wabah ebola menyebar.
Virus mematikan itu akhirnya
mendapat perhatian dunia. Amerika, Asia, dan Eropa mulai khawatir ebola
akan menyebar ke negara-negara mereka. Inggris sampai menggelar rapat
khusus membahas itu.
Hong Kong menyiapkan karantina khusus jika
ada yang terdeteksi. Virus itu juga tengah jadi perbincangan hangat di
Amerika Serikat. Apalagi, sudah ada warga AS yang meninggal karena
ebola.
Patrick Sawyer mendadak pingsan setelah turun pesawat di
Nigeria. Ia berencana pulang ke Minnesota dari Liberia, untuk merayakan
ulang tahun putrinya. Pria 40 tahun itu ternyata positif terinfeksi
ebola.
Virus mematikan itu bukan hanya menularkan penyakit, tapi juga menyebar kepanikan.
Indonesia waspada
Beruntung, kasus ebola belum sampai ke Indonesia. Dalam wawancara dengan
VIVAlife, Kamis, 31 Juli 2014, Wakil Menteri Kesehatan RI, Ali Gufron mengaku optimistis Indonesia belum punya riwayat ebola.
Meski
begitu, ia tetap waspada. Sebab, akses antarnegara di dunia kini makin
mudah. Kemungkinan Indonesia tertular, pasti ada. “Banyak yang ke
Afrika, atau mereka yang datang ke Indonesia,” katanya.
Untuk
itu, Kementerian Kesehatan menekankan pentingnya mengetahui cara
penularan virus sebagai tindak pencegahan pertama. Ia menyarankan,
masyarakat menerapkan pola hidup bersih dan sehat.
Seperti diulas
sebelumnya, penularan ebola terjadi melalui kontak langsung dengan
darah, cairan, sekresi, atau jaringan pasien yang terinfeksi. Dokter
yang pernah menangani, juga mungkin tertular.
“Yang mau ke Afrika
kami ingatkan, jangan sampai kontak langsung dengan pasien yang
terinfeksi, apalagi berhubungan seksual,” ia menjelaskan. Begitu pula
kontak dengan hewan pembawa virus.
Sedang untuk orang yang baru
pulang dari Afrika, Ali mengaku sudah menyiapkan prosedur khusus di
pelabuhan maupun bandara. Melalui kantor-kantor pusat kesehatan di sana,
ada pemeriksaan khusus.
“Ini kan termasuk corona virus, seperti MERS, jadi standar pemeriksaannya sama,” ia menyebutkan.
Namun, Ali mengaku belum memikirkan
travel warning atau
travel instruction. Sebab, katanya, belum ada rekomendasi dari WHO untuk itu. “Di Afrika saja belum ada, apalagi di Indonesia,” ia berucap.
Menurut Ali, yang terpenting saat ini adalah meningkatkan kewaspadaan. “Ebola termasuk salah satu
international health regulation. Setiap ada kasus di manapun, harus dilaporkan,” ungkap Ali.
Ia berharap, Indonesia tidak sampai melaporkan adanya kasus ebola, apalagi sampai jatuh korban.
Dari kelelawar
Apa sebenarnya ebola?
Awalnya, ia dikenal sebagai demam berdarah. Gejalanya memang mirip.
Menurut situs resmi WHO, pasien yang terinfeksi akan demam mendadak,
nyeri otot, sakit kepala, dan tenggorokan. Kemudian diikuti muntah,
diare, ruam, gangguan fungsi ginjal dan hati.
Pada beberapa kasus
yang ekstrem, ebola juga ditandai dengan pendarah internal maupun
eksternal. Jika diuji laboratorium, diketahui sel darah dan trombosit
pasien rendah. Sebaliknya, enzim hati tinggi.
Untuk mendiagnosis
ebola, asumsi malaria, demam berdarah, kolera, pes, meningitis, dan
hepatitis harus disingkirkan dahulu. Ebola akan muncul saat pengujian
antibodi dan enzim yang berhubungan dengan imunitas, deteksi antigen,
uji netralisasi serum, mikroskopi elektron, dan isolasi virus.
Biasanya,
butuh waktu sekitar dua hingga 21 hari dari saat seseorang terinfeksi,
sampai didiagnosis positif menderita ebola. Beberapa hari setelah
positif, maut bisa datang jika tak segera ditangani.
Sejatinya,
ebola merupakan virus yang ditularkan ke manusia melalui hewan liar. WHO
menyebut, kelelawar pemakan buah yang termasuk klan Pteropodidae
merupakan pembawa alami virus itu.
Kelamaan, virus itu berkembang
di populasi manusia, dan dapat ditularkan dari manusia ke manusia.
Hingga kini, belum ada pengobatan maupun vaksinasi berlisensi untuk
mengatasinya.
Situs resmi WHO menerangkan, ebola menular ke
manusia melalui kontak darah, sekresi, atau organ dan cairan lain dari
hewan yang terinfeksi. Selain kelelawar, virus juga ditemukan pada hewan
primata.
Dari manusia ke manusia, penularan terjadi lewat kontak
langsung dengan mereka yang terinfeksi. Kulit yang terbuka atau selaput
lendir yang terkena darah, sekresi, maupun cairan lain, bisa
menularkannya.
Kontak tidak langsung dengan lingkungan yang
terkontaminasi cairan itu juga bisa fatal. Misalnya: ruang karantina
pasien maupun upacara pemakaman korban meninggal di mana pelayat bisa
kontak langsung.
Pasien yang telah dinyatakan sembuh, juga masih
bisa menularkan virus, kemungkinan besar melalui air mani. Biasanya,
jangka waktu yang diperlukan untuk virus benar-benar mati lebih dari
tujuh minggu.
Tak ada obat
Yang menjadi kabar buruk,
hingga kini ebola belum ada obatnya. Saat virus sudah bercokol dalam
tubuh, itu akan mengakibatkan inflamasi serius. Jika imunitas dan
peredaran darah tak terkontrol, organ fatal.
Ebola menyerang sel-T limfosit dalam kekebalan tubuh, sel yang sama seperti yang diserang HIV. Namun menurut laman The Conversation,
ebola bisa merusak dengan jauh lebih agresif. Ia bisa memecah pembuluh
darah di mana-mana, sehingga mengakibat pendarahan internal dan
eksternal.
Saat itu, serangan virus mencapai puncak. Pasien akan
terus dehidrasi. Memenuhi tubuh dengan minuman yang mengandung
elektrolit sangat penting. Itu akan membantu melewati masa terminal.
Perawatan intensif di awal masa infeksi juga bisa membantu penyembuhan pasien.
Dunia
kesehatan sedang mengembangkan vaksinasi untuk menyembuhkan ebola.
Namun, itu belum bisa benar-benar digunakan. Ilmuwan menemukan molekul
BCX4430 yang bisa mencegah perkembangan virus dan menghentikannya di
tubuh primata. Namun, belum diuji coba pada manusia.
Saat ini,
yang bisa dilakukan hanya mengisolasi penderitanya. Sebab, menurut
seorang internis, Dr. Marc Siegel, yang membuat ebola “populer” di
Afrika adalah kebiasaan masyarakatnya tinggal berdekatan.
Itu membuat mereka kurang waspada terhadap penularan virus. Mengutip Fox News, ritual pemakaman yang memungkinkan kontak dengan jasad yang telah terinfeksi, juga bisa jadi penyebab penyebaran.
Menaklukkan penyebaran virus
Meski ebola amat
berbahaya, Dr. Marc Siegel menyarankan dunia untuk tetap tenang.
Kepanikan berlebihan justru memperburuk situasi. Cara terbaik
menaklukkan penyebaran virus adalah isolasi.
Menurut Siegel,
ebola tidak semenakutkan kedengarannya. Itu masih bisa dicegah dengan
isolasi pasien, pola hidup higienis, dan peningkatan daya tahan tubuh.
Bahkan, penderitanya masih bisa sembuh total.
Dr. Jay Keystone
dari unit penyakit tropis Rumah Sakit Umum Toronto sepakat soal itu. Ia
menambahkan, yang pertama harus dituntaskan adalah kecepatan penemuan
kasus.
“Masalahnya, orang yang terinfeksi, bisa begitu saja
kembali ke desa tanpa ada yang tahu soal itu,” kata Keystone saat
diwawancarai CBC Canada. Karena itu, penting untuk mengetahui kasus secara dini.
“Jika kasus sudah diketahui, segera diawasi, didiagnosis, dan penderitanya diisolasi,” imbuh Keystone.
Sedang
mereka yang kontak langsung dengan pasien, seperti petugas medis, harus
menggunakan busana khusus. Itu sebabnya para relawan di Afrika bekerja
dengan busana serba tertutup dan disemprot desinfektan, agar tidak
terinfeksi virus.
“Mencuci tangan secara teratur juga
mencegahnya,” lanjut Keystone. Katanya, ebola hanya menular lewat kontak
langsung. Ia tidak aerosol, sehingga tidak menular melalui udara
seperti batuk dan bersin.