Budaya, Pertanyaan, dan Perhatian
Enam hari lalu, saya pindah ke rumah baru. Rumah yang akan kami tempati selama 4 tahun di Palmerston North ini.
Rumah kami terletak di ujung dari 4 deret rumah di 5 Ranfurly Street. Dekat sekali dengan The Plaza, satu-satunya mal di kota ini. Jangan bayangkan mal seperti di Indonesia. The Plaza hanya terdiri atas satu lantai dan tutup jam 6 sore tiap harinya kecuali hari Kamis, hari dimana para pekerja menerima upahnya. Dengar-dengar, pemerintah di sini menginginkan agar orang-orang langsung pulang ke rumah, pulang pada keluarganya, bukannya malah keluyuran di mal.
Hari Sabtu, 11 Oktober 2014, satu hari setelah ulangtahun pernikahan kami yang ke-4, pagi-pagi benar saya memasukkan barang-barang ke dalam rumah baru. Dibantu beberapa teman Indonesia di sini.
Tetangga sebelah rumah, kebetulan melintas dan menyapa, “Who’s moving?”. Saya lalu berkenalan, menyebutkan nama pada Oma itu yang ternyata bernama Renee. “Nice to meet you”, ucap kami berbarengan. Lalu Oma itu masuk rumahnya dan saya pun masuk rumah.
Singkat saja perkenalan itu.
Saya kemudian membayangkan, kalau kejadian “perkenalan tetangga baru” ini terjadi di Indonesia, atau setidaknya di Jogja, kota dimana saya hidup selama 30 tahun.
“Wah, pindahan ya Bu?”
“Dari mana asalnya?”
“Disini sendiri atau bersama keluarga?”
“Puteranya berapa? Laki-laki atau perempuan?”
“Kerja di mana?”
Dan seterusnya….
Pertanyaan-pertanyaan yang kadang terasa tidak perlu atau tidak pantas ditanyakan.
Dalam budaya masyarakat kolektif atau paguyuban, pertanyaan basa-basi seperti itu nampaknya sudah menjadi kelaziman. Sebagai bentuk perhatian dan usaha untuk menjalin hubungan baik atau silaturahmi. Sebaliknya, masyarakat yang individualis, lebih jarang mengajukan pertanyaan basa-basi seperti itu.
Saya sendiri belum pernah ditanya, “Where will you go?” ketika saya berjalan tergesa menuju halte pada pagi yang dingin. Atau, “Just arrived from campus?” ketika saya mau masuk rumah di sore hari dengan menggendong ransel di punggung.
Kemudian saya berpikir… Percakapan singkat atau panjang, ucapan to the point atau basa-basi, pembicaraan yang menghormati atau justru melanggar privasi, semua pasti pernah dan akan terus saya alami. Tidak bisa saya membuat kesimpulan bahwa basa-basi itu tidak perlu, atau sebaliknya, ucapan to the point itu bermakna kurang ramah. Tidak boleh saya menilai bahwa pertanyaan-pertanyaan ingin tahu itu kelewat batas, atau sebaliknya, pertanyaan singkat berarti kurang perhatian.
Saya belajar…dalam menanggapi pertanyaan atau komentar apapun, yang terpenting adalah kemauan mendengarkan lawan bicara dengan hati. Lihat lebih dalam, apa yang ingin ia sampaikan dibalik kalimatnya. Perhatikan lebih jauh, apa yang ingin ia tunjukkan mengenai dirinya, mengenai kebutuhannya.
Palmerston North, 17 Oktober 2014
Enam hari lalu, saya pindah ke rumah baru. Rumah yang akan kami tempati selama 4 tahun di Palmerston North ini.
Rumah kami terletak di ujung dari 4 deret rumah di 5 Ranfurly Street. Dekat sekali dengan The Plaza, satu-satunya mal di kota ini. Jangan bayangkan mal seperti di Indonesia. The Plaza hanya terdiri atas satu lantai dan tutup jam 6 sore tiap harinya kecuali hari Kamis, hari dimana para pekerja menerima upahnya. Dengar-dengar, pemerintah di sini menginginkan agar orang-orang langsung pulang ke rumah, pulang pada keluarganya, bukannya malah keluyuran di mal.
Hari Sabtu, 11 Oktober 2014, satu hari setelah ulangtahun pernikahan kami yang ke-4, pagi-pagi benar saya memasukkan barang-barang ke dalam rumah baru. Dibantu beberapa teman Indonesia di sini.
Tetangga sebelah rumah, kebetulan melintas dan menyapa, “Who’s moving?”. Saya lalu berkenalan, menyebutkan nama pada Oma itu yang ternyata bernama Renee. “Nice to meet you”, ucap kami berbarengan. Lalu Oma itu masuk rumahnya dan saya pun masuk rumah.
Singkat saja perkenalan itu.
Saya kemudian membayangkan, kalau kejadian “perkenalan tetangga baru” ini terjadi di Indonesia, atau setidaknya di Jogja, kota dimana saya hidup selama 30 tahun.
“Wah, pindahan ya Bu?”
“Dari mana asalnya?”
“Disini sendiri atau bersama keluarga?”
“Puteranya berapa? Laki-laki atau perempuan?”
“Kerja di mana?”
Dan seterusnya….
Pertanyaan-pertanyaan yang kadang terasa tidak perlu atau tidak pantas ditanyakan.
Dalam budaya masyarakat kolektif atau paguyuban, pertanyaan basa-basi seperti itu nampaknya sudah menjadi kelaziman. Sebagai bentuk perhatian dan usaha untuk menjalin hubungan baik atau silaturahmi. Sebaliknya, masyarakat yang individualis, lebih jarang mengajukan pertanyaan basa-basi seperti itu.
Saya sendiri belum pernah ditanya, “Where will you go?” ketika saya berjalan tergesa menuju halte pada pagi yang dingin. Atau, “Just arrived from campus?” ketika saya mau masuk rumah di sore hari dengan menggendong ransel di punggung.
Kemudian saya berpikir… Percakapan singkat atau panjang, ucapan to the point atau basa-basi, pembicaraan yang menghormati atau justru melanggar privasi, semua pasti pernah dan akan terus saya alami. Tidak bisa saya membuat kesimpulan bahwa basa-basi itu tidak perlu, atau sebaliknya, ucapan to the point itu bermakna kurang ramah. Tidak boleh saya menilai bahwa pertanyaan-pertanyaan ingin tahu itu kelewat batas, atau sebaliknya, pertanyaan singkat berarti kurang perhatian.
Saya belajar…dalam menanggapi pertanyaan atau komentar apapun, yang terpenting adalah kemauan mendengarkan lawan bicara dengan hati. Lihat lebih dalam, apa yang ingin ia sampaikan dibalik kalimatnya. Perhatikan lebih jauh, apa yang ingin ia tunjukkan mengenai dirinya, mengenai kebutuhannya.
Palmerston North, 17 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment