Ratusan demonstran dari kelompok Budha garis keras berunjuk rasa di
Sittwe, Ibu kota Negara Bagian Rakhine, Myanmar, memprotes usulan panel
khusus yang dibentuk pemerintahan Aung San Suu Kyi agar etnis minoritas
Muslim Rohingya diberi kewarganegaraan.
Seperti dilansir Arab
News, Rabu 22 Maret 2017, unjuk rasa ini dipimpin oleh partai Nasional
Arakan yang dikuasai oleh mayoritas warga Budha Myanmar pada Ahad lalu.
Kami menuntut pemerintah untuk mematuhi undang-undang kewarganegaraan
1982 dan tidak memberikan kewarganegaraan kepada imigran ilegal. Mereka
tidak layak jadi warga negara, kata Aung Htay, pemimpin massa.
Aksi
protes ini berselang tiga hari setelah Komisi Penasihat Rakhine yang
dipimpin bekas Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan mendesak pemerintah
yang dikuasai Liga Nasional Demokrat (NLD) untuk segera memberikan
kewarganegaraan pada warga Rohingya dan segera menutup kamp penjara
warga Rohingya agar mereka bebas bergerak.
Ratusan ribu warga
Rohingya melarikan diri dari kampung halaman mereka di Rakhine ke
Bangladesh sejak kekerasan sektarian terjadi pada 2012. Rakhine, salah
satu wilayah termiskin di Myanmar, menjadi rumah bagi 1 juta warga
Rohingya.
Meski telah tinggal di wilayah itu selama beberapa
generasi, warga mayoritas Budha menilai Rohingya sebagai warga ilegal
dari Bangladesh.
"Komisi menyerukan perlunya dibuat rencana untuk menutup seluruh kamp
pengungsi dalam negeri di Negara Bagian Rakhine," ujar Ghassan Salame,
seorang anggota komisi dalam peluncuran laporan di Yangon pada Kamis
lalu.
Kantor pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengatakan sebagian besar rekomendasi tersebut akan "segera diterapkan".
Pemerintah
Myanmar, sebut kantor Aung San Suu Kyi, "sepakat dengan
rekomendasi-rekomendasi dan meyakini hal ini akan berdampak secara
positif pada proses rekonsiliasi nasional dan pembangunan."
Setidaknya
120.000 orang Rohingya menempati kamp-kamp pengungsian setelah terjadi
kekerasan sektarian antara komunitas mayoritas Buddha dan minoritas
Muslim di Rakhine pada 2012.
Sebagian besar dari mereka dilarang
meninggalkan lingkungan kamp dan tak banyak mendapat akses makanan.
Mereka pun tak mendapatkan layanan pendidikan atau kesehatan yang
memadai.
Tahun lalu, pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi
menunjuk Kofi Annan untuk mengepalai komisi untuk menyelesaikan
persoalan di Rakhine.
Di samping pengakuan status dan penutupan
kamp, komisi juga merekomendasikan agar pihak berwenang memberikan akses
kepada pekerja bantuan kemanusiaan dan wartawan ke daerah konflik.
Namun
laporan awal ini tidak sampai mengeluarkan rekomendasi pembentukan
penyelidikan internasional secara penuh terkait dugaan kekerasan yang
dialami kelompok Rohingya.
No comments:
Post a Comment