Wednesday, March 22, 2017

Tolak Pemberian Warga Negara pada Rohingya, Warga Budha Demo

Ratusan demonstran dari kelompok Budha garis keras berunjuk rasa di Sittwe, Ibu kota Negara Bagian Rakhine, Myanmar, memprotes usulan panel khusus yang dibentuk pemerintahan Aung San Suu Kyi agar etnis minoritas Muslim Rohingya diberi kewarganegaraan.

Seperti dilansir Arab News, Rabu 22 Maret 2017, unjuk rasa ini dipimpin oleh partai Nasional Arakan yang dikuasai oleh mayoritas warga Budha Myanmar pada Ahad lalu.

Kami menuntut pemerintah untuk mematuhi undang-undang kewarganegaraan 1982 dan tidak memberikan kewarganegaraan kepada imigran ilegal. Mereka tidak layak jadi warga negara, kata Aung Htay, pemimpin massa.

Aksi protes ini berselang tiga hari setelah Komisi Penasihat Rakhine yang dipimpin bekas Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan mendesak pemerintah yang dikuasai Liga Nasional Demokrat (NLD) untuk segera memberikan kewarganegaraan pada warga Rohingya dan segera menutup kamp penjara warga Rohingya agar mereka bebas bergerak.

Ratusan ribu warga Rohingya melarikan diri dari kampung halaman mereka di Rakhine ke Bangladesh sejak kekerasan sektarian terjadi pada 2012. Rakhine, salah satu wilayah termiskin di Myanmar, menjadi rumah bagi 1 juta warga Rohingya.

Meski telah tinggal di wilayah itu selama beberapa generasi, warga mayoritas Budha menilai Rohingya sebagai warga ilegal dari Bangladesh.

"Komisi menyerukan perlunya dibuat rencana untuk menutup seluruh kamp pengungsi dalam negeri di Negara Bagian Rakhine," ujar Ghassan Salame, seorang anggota komisi dalam peluncuran laporan di Yangon pada Kamis lalu.

Kantor pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengatakan sebagian besar rekomendasi tersebut akan "segera diterapkan".

Pemerintah Myanmar, sebut kantor Aung San Suu Kyi, "sepakat dengan rekomendasi-rekomendasi dan meyakini hal ini akan berdampak secara positif pada proses rekonsiliasi nasional dan pembangunan."

Setidaknya 120.000 orang Rohingya menempati kamp-kamp pengungsian setelah terjadi kekerasan sektarian antara komunitas mayoritas Buddha dan minoritas Muslim di Rakhine pada 2012.

Sebagian besar dari mereka dilarang meninggalkan lingkungan kamp dan tak banyak mendapat akses makanan. Mereka pun tak mendapatkan layanan pendidikan atau kesehatan yang memadai.

Tahun lalu, pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi menunjuk Kofi Annan untuk mengepalai komisi untuk menyelesaikan persoalan di Rakhine.

Di samping pengakuan status dan penutupan kamp, komisi juga merekomendasikan agar pihak berwenang memberikan akses kepada pekerja bantuan kemanusiaan dan wartawan ke daerah konflik.

Namun laporan awal ini tidak sampai mengeluarkan rekomendasi pembentukan penyelidikan internasional secara penuh terkait dugaan kekerasan yang dialami kelompok Rohingya.

No comments:

Post a Comment

Translate